
Para prajurit Tajikistan berdiri tegak di tanah berbatu, di bawah langit yang kelabu, di tepi perbatasan yang membelah dunia menjadi dua sisi.
Mereka adalah penjaga di garis batas yang membentang di sepanjang Sungai Amu Darya, pemisah alamiah antara Tajikistan dan Afghanistan. Di sini, perbatasan bukan hanya garis di peta, tetapi juga dinding yang membatasi realitas, nasib, dan sejarah.
Mata mereka menatap tajam, seragam mereka menandakan kebanggaan, namun juga kelelahan dari jam-jam panjang dalam tugas di pegunungan Atap Dunia Pamir, pada ketinggian di atas 3.500 meter.
Sementara itu, di seberang sungai, tanah Afghanistan membentang, menghadirkan bayangan masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Perbatasan ini telah melihat banyak hal: pedagang Jalur Sutra yang melintas ratusan tahun lalu, perang yang memisahkan manusia, dan kini, prajurit muda yang berjaga.
Dalam perjalanan melintasi Asia Tengah, kita sering bertanya, apa arti sebuah perbatasan? Apakah ia sekadar garis yang ditarik manusia, atau justru simbol dari perbedaan yang sulit dijembatani?